Cerita ini saya ambil dari buku yang dikarang oleh Ihsan Abdul Quddus dengan judul "Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan". Seorang penulis terkenal dari Mesir ini mengambil ide buku tersebut karena Ihsan menganggap perempuan pada masanya dianggap sebagai simbol pengorbanan dalam masyarakat Mesir, dan kerena itu ia menjadikan perempuan sebagai tema sentral dalam karyanya.
Dalam tokoh utama yang diperankan oleh Suad, ia adalah sosok wanita yang merasa tidak menemukan bahwa keberadaannya sebagai wanita telah memberikan batasan. Perempuan tidak bisa dipenjarakan dalam jeruji pernikahan dan dibatasi perannya hanya menjadi seorang ibu. Perempuan bukan pembantu suaminya, bukan pula pesuruh bagi anak-anaknya.
Dari kondisi ini, ia telah membuat kesalahan dalam meletakkan mahligai cinta dalam kehidupannya. Cinta hanya dianggap sebagai permainan untuk sekedar mengisi waktu luang. Maka, oleh karena itu ia tidak pernah memiliki ruang untuk cinta. Baginya laki-laki hanyalah sepenggal kisah tentang perasaan sebagai hiburan.
Lepas dari galau cinta, ia memiliki konsep khusus tentang perkawinan. Baginya perkawinan adalah sekedar tradisi internal masyarakat manusia untuk melambangkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Selama Allah masih menciptakan manusia dalam kelamin laki-laki dan perempuan dan selama interaksi laki-laki dan perempuan berlangsung dalam pola saling melengkapi dan membutuhkan, selama itu pula institusi perkawinan akan berlangsung.
Seseorang tidak mungkin membeli sekilo daging atau jeruk tanpa memiliki ketertarikan dan kebutuhan untuk membelinya. Demikian juga dengan perkawinan. Dengan faktor tersebut ia menempa diri dengan mengorganisasikan diri ke masyarakat luas dalam kelembagaan perempuan untuk saling melengkapi dan membutuhkan.
Hingga setelah masa percintaannya dengan 2 pria yang berujung perceraian, Suad tetap berkonsentrasi dalam pekerjaan dan kariernya sebagai tokoh yang mengikuti percaturan politik. Ia rajin menghadiri perkumpulan-perkumpulan politik hingga namanya dikenal luas di negaranya.
Masyarakat sering melakukan diskriminasi dalam melihat laki-laki dan perempuan, terkait dengan kehendak untuk menikah. Laki-laki yang memutuskan untuk selamanya melajang tetap mendapatkan tempat yang layak dalam masyarakat. Sedang perempuan yang memilih untuk tidak menikah seringkali dikucilkan oleh masyarakat. Asumsi masyarakat mengatakan bahwa perempuan yang tidak menikah berarti tidak cantik atau buruk perangai bahkan bisa dicap gila. Lebih tidak manusiawi lagi, masyarakat memberikan level perawan tua baginya. Sebuah level yang sungguh sangat menyakitkan hati.
Suad tetap bertahan dalam karier dan dalam "gerakan perempuan". Ia tetap seperti dirinya. Menganggap dirinya sebagai fenomena aktivis perempuan yang dimanfaatkan pemerintah setiap kali mereka berkepentingan untuk memanfaatkan. Tidak lebih dari itu.
Menginjak umur 50 tahun ia tetap sendiri dan masih berada dalam lingkar kepimpinan organisasi pergerakan perempuan, menganggap dirinya telah terbiasa untuk lupa bahwa ia perempuan.
Tim Redaksi : Taqiya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar