Pasang Surut Laut Islam dan Politik Orde Baru
Foto: Twitter @akalbuku |
Hubungan politik islam dengan politik orde baru alih-alih bisa dikatakan tidak selamanya harmonis. Pasang surut hubungan yang tajam terhadap penguasa orde baru saat itu. Ketika kekuatan Islam politik berhasil membantu tentara menumpas para PKI pada 1966, dan kekuatan Islam politik kembali diperhitungkan, serta masih adanya lahan tempat untuk ikut andil berkontestasi sampai pemilu pertama Orde Baru tahun 1977.
Disharmoni islam politik dengan orde baru sesaat setelah mengambil alih kekuasaan pada tahun 1967 dimana saat itu orde baru memupus harapan para pemimpin masyumi untuk mengizinkan lagi partainya untuk berkontestasi di pemilu 1971. Namun setelah pemilu 1971 pemerintah Soeharto mulai membatasi aliran politik dengan menyederhanakan partai-partai atau dikenal dengan fusi. Partai-partai nasionalis disatukan menjadi PDI dan partai-partai islam difusikan menjadi PPP. Hal tersebut digunakan untuk mengukur kekuatan lawan politik pemerintah, dan adanya fusi tersebut agar menciptakan konflik didalam partai-partai sehingga sulit untuk mengkonsolidasikan kekuatan lainnya / melebarkan sayapnya untuk menandingi Sekber Golkar.
Karena tidak dianggap bukan bagian dari pro pemerintahan, kehidupan islam politik pun acap kali mendapatkan banyak intervensi dan tekanan dari pemerintah atau kroni-kroni orde baru. Bahkan dalam urusan proyek pembangunan Indonesia, kelompok islam politik bisa dikatakan tidak mendapatkan tempat. Mereka yang tidak setuju dengan rencana dan kebijakan pemerintah pada masa orde baru serta melakukan protes maka akan di cap dan labeli sebagai kelompok yang ekstrimis kanan dan masuk bagian dari Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII).
Perlakuan yang tidak adil ini menimbulkan suatu konflik antara umat islam dan pemerintah orde baru. Seperti; konflik Tanjung Priok yang melibatkan bentrok antara umat Islam dengan tentara pada September 1984. Kerusuhan ini bermula dari suatu masalah insiden di Musholla As-Sa’adah, Koja Selatan. Kejadian tersebut berlanjut dengan bentrokan antar warga dengan petugas keamanan yang menimbulkan pembakaran kendaraan dinas dan akibat dari kejadian tersebut 4 warga Koja Selatan ditangkap.
Pada 12 September 1984, sejumlah umat islam melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut pembebasan warga yang ditahan. Demonstrasi tersebut direspon oleh aparat keamanan dan menimbulkan kekerasan serta konflik berdarah antara umat Islam Tanjung Priok dengan aparat militer.
Dengan dalih alasan demi menjaga stabilitas serta pengikisan ideology radikal / ekstrimis, baik kanan maupun kiri. Dan saat itu pula pemerintah menerapkan asas Pancasila pada tahun 1985 untuk seluruh organisasi kemasyarakatan dan partai politik. Tujuan utama asas tunggal tersebut yaitu untuk mengooptasi penguasaan kendali Islam Politik. Dan saat itu NU melalui Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menerima gagasan tersebut dari pemerintah serta Ulama yang menentang kebijakan-kebijakan pada masa orde baru dan sulit dikendalikan Gus Dur berpendapat bahwa Islam tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dan waktu itu Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU yang saat itu mengembalikan NU pada khittah 1926 menjadi organisasi kemasyarakatan yang aktif untuk memberdayakan masyarakat, yang sebelumnya NU pernah terlibat dalam politik praktis melalui PPP.
Soeharto Berlabuh ke Islam Politik
Menjelang 1990, Soeharto mulai merisaukan serta merasakan betul situasi waktu itu ABRI tak lagi solid dan hubungan politik pun seperti seakan-akan merenggang untuk mendukung Soeharto, karena beberapa di ABRI ada yang ingin melakukan kudeta. Dan Soeharto pun membutuhkan kekuatan baru untuk mendukung dan menguatkan kekuasaannya. Pilihan tersebut jatuh kepada Islam politik. Wadah untuk menyatukan kekuatan islam politik tersebut terjewentahkan dengan berdirinya dan didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990, di Malang. Yang saat itu diketuai oleh BJ. Habibie. Kenapa BJ Habibie ? Padahal ada beberapa yang meragukan keislaman Habibie. BJ Habibie orang kepercayaan Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi.
Maka akan mudah untuk mengendalikan kekuatan politik Soeharto melalui BJ Habibie yang menjadi ketua umum ICMI. Besarnya wadah yang terbentuk seperti ICMI dalam pemerintahan terbukti dengan banyaknya anggota ICMI yang menjadi menteri dalam Kabinet Pembangunan VI pada 1992. Banyak publik dan pengamat politik menjuluki cabinet tersebut yaitu Kabinet Ijo Royo-Royo, yang disitu warna hijau melambangkan Islam.
Melihat potensi ICMI yang berkembang pesat beberapa petinggi militer terlibat dalam jejaring Islam Politik melalui ICMI dan masuk kedalam bagian ICMI. Sekber Golkar yang pada waktu itu sebagai kendaraan politik Soeharto, mendapatkan efek luar biasa, yang juga melakukan menuver jejaring melalui Islam politik, yang kemudian muncul sebutan yang dikenal sebagai tiga jalur , pertama jalur ABRI yang dipimpin oleh Pangab. Kedua jalur Birokrat dipimpin oleh Mendagri. Yang ketiga Golkar yang dipimpin oleh Ketua Golkar. Yang waktu itu disingkat ABG (ABRI-BIROKRAT-GOLKAR). Memang Soeharto menginisiasi pembentukan ICMI sebagai jembatan dukungan kekuatan politik Soeharto dalam menggaet umat Islam dan intelek-intelektual Islam. Hal tersebut dikritik oleh Gus Dur, Gus berkata "justru Soeharto sedang bermain api dengan kelompok Islam radikal yang sangat sektarian dan mengancam persatuan Indonesia" saat diwawancarai oleh Adam Schwarz.
Umat islam seakan-akan menjadi momok lawan terbesar untuk rezim pemerintahan orde baru waktu itu dan yang ikut dan mendukung penuh kebijakan rezim orde baru seperti layaknya sahabat yang harus dimanjakan. Respon pemerintah orde baru terhadap kritik dan aspirasi seperti sedang berhadapan dengan musuh bebuyutan yang harus diperlakukan dengan cara yang tak lazim.
Beberapa kekerasan aparat militer terhadap masyarakat khususnya umat islam yang sedang berjalan di jalan kebenaran. Politik Islam pada era rezim orde baru dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1. Fase pertama dikenal dengan Fase Antagonis, dimana Umat Islam / Islam Politik yang bukan merupakan bagian dari pemerintah yang suka menentang serta mengkritik kebijakan rezim pemerintahan orde baru maka diperlakukan Antagonis dan di cap sebagai kaum ekstrimis, baik kiri maupun kanan atau dan DI/TII.
2. Fase kedua yaitu Fase Saling Menunggu, artinya ketika waktu itu hubungan ABRI dengan Soeharto mulai merenggang dan tidak stabil secara kekuatan politik, maka Soeharto menginisiasi mencari peluang dan berlabuh ke Islam Politik sebagai pertahanan kekuatan politik nya. Maka berdirinya ICMI, dan beberapa kroni-kroni Orde Baru , beberapa petinggi militer (ABRI) dan Sekber Golkar berinisiatif membuat sayap lebarnya untuk memanfaatkan potensi dan jejaring Islam Politik melalui ICMI.
Oleh: Nur Hidayat Luthfi Majid (kontributor)
Sumber : Buku Menjerat Gus Dur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar