HOS TJOKROAMINOTO : Sang Raja Tanpa Mahkota - Klik Media 9

Breaking

Jumat, 06 November 2020

HOS TJOKROAMINOTO : Sang Raja Tanpa Mahkota

 HOS TJOKROAMINOTO : Sang Raja Tanpa Mahkota

Source Img : Tirto


“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.”

(HOS Tjokroaminoto)


Raja Jawa yang tak Bermahkota itulah sebutan Belanda untuk Tjokroaminoto. Disisi lain seorang pemimpin Nasionalis kebangsaan Belanda, P.F. Dahler, menyebutnya “Harimau Mimbar” karena pidato-pidatonya yang disampaikan bisa membuat pendengarnya kagum dan terpukau untuk mendengarkanya sampai berjam-jam. Ia dikenal semua masyarakat melalui pidato-pidatonya yang disampaikan dalam berbagai kegiatan musyawarah maupun rapat kerja. Kunjungan rapat kerja ke daerah-daerah atau cabang-cabang SI, menjadikan bagian yang tak terpisahkan dari kepemimpinan Tjokroaminoto sekaligus menjadi energi yang membuat organisasi ini menjadi besar.


Haji Oemar Said Tjokroaminoto, yang lebih popular dengan sebutan HOS Tjokroaminoto, lahir tanggal 26 Agustus 1882 di desa Bakur Madiun Jawa Timur. Ia terlahir dengan nama Oemar Said, setelah menunaikan Haji, Ia kemudian mencantumkan gelar Haji didepan namanya  sebagai tradisi yang telah berlaku pada saat itu. Oemar Said masih keturunan Kiai Bagoes Kasan Basari, seorang Ulama besar pengasuh pesantren Tegalsari di Ponorogo. Kiai Bagoes Kasan Basari menikah dengan putri Susuhan II (raja Surakarta). Dengan perkawinan tersebut, ia menjadi bagian dari keluarga Ningrat, dan mendapatkan gelar Raden Mas.


Dimasa kecil, Tjokroaminoto dikenal sebagai anak yang cerdas,tapi nakal. Karena kenakalanya, ia harus pindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Namun, karena kecerdasan dan status sosialnya, ia dapat masuk dan menyelesaikan pendidikanya di OSVIA (Opleidings School Voor Inlansche Ambtenaran) di Magelang pada tahun 1902.


Ijazah yang didapatkan dari OSVIA, memberikan ia kesempatan untuk bekerja di bagian Administrasi Belanda. Pemerintahan Belanda memberikan kesempatan kepada para priyayi untuk menempuh sekolah di Eropa. Hal ini bertujuan agar dapat menghasilkan para sarjana yang nantinya dapat merangkul nilai-nilai Belanda dan dapat direkrut untuk bekerja di pemerintahan lokal. Kebijakan ini merupakan salah satu dari reformasi kebijakan yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje.


Tjokroaminto dikenal sebagai seorang yang radikal terhadap praktik adat yang dianggap merendahkan masyarakat Indonesia. Misalnya praktik jongkok dan sembah yang menjadikan ia keluar dari Prangreh Pradja. Ia juga dikenal sebagai seorang yang memperjuangkan kesetaraan Antara masyarakat Indonesia dan Belanda. Ia berani untuk duduk di kursi,tidak lagi membuang tatapan ke lantai sebagai bentuk penghormatan, duduk dengan menyilangkan kaki pada saat bertemu dengan Pejabat maupun orang-orang Belanda. Dalam kalangan Sarekat Islam (SI), Ia dikenal sebagai Gatotkaca.


Ia juga dikenal sebagai orator ulung. Penampilanya memberikan kesan kepribadian yang luar biasa kuat. Kekuatan suaranya dalam berorasi mampu membuat orang lain terpesona, dan suara rendahnya bagaikan kekuatan magis yang mampu memberikan rasa percaya diri bagi orang yang mendengarnya. Soekarno, sebagai salah satu muridnya, berhasil menguasai gaya orator Tjokroaminoto, anatar keduanya memiliki kemiripan yang sama.


Yang menarik perhatian Tjokroaminoto untuk bergabung dengan SI adalah perkembanganya yang begitu cepat. Dia mengerti bahwa satu perkumpulan yang begitu cepat mempengaruhi sekitarnya memiliki daya hidup dan dapat merupakan sarana yangb baik untuk meningkatkan harkat rakyat Indonesia. Setelah Tjokroaminoto menjadi anggota SI, Samanhoedi yang kurang berpendidikan menjadi terdesak ke belakang dan Tjokroaminoto menjadi pimpinan SI berikutnya. Ia kemudian menjalankan perusahaan komersil, Setia Oesaha dan mendirikan percetakan sendiri. Dengan percetakan ini, Tjokroaminoto mendirikan surat kabar harian Oetoesan Hindia pada bulan Desember 1912 dan bertindak sebagai Pimpinan Redaksi.


Di Oetoesan Hindia, Tjokroaminoto mengembangkan kemampuan jurnalistiknya. Ia tidak hanya menulis di surat kabar hariannya tetapi juga menulis di salah satu Koran terkemuka yaitu Soeara Soerabaya. Tulisannya mengkritisi kebijakan pemerintahan Belanda dan menyuarakan kebebasan dalam menentukan nasib sendiri bagi masyarakat Indonesia. Sebagai hasil perjuangan SI, ia mendirikan Fadjar Asia dan al-Jihad yang semuanya sebagai pendukung dari posisi politik SI.


Seabagai Raja tanpa Mahkota, HOS Tjokroaminoto memberikan sumbangsih besar dalam perjuangan melepaskan cengkraman penjajah di Indonesia. Sebagai bagian dari keluarga Keraton Surakarta, ia menyuarakan Islam sebagai basis pejuangannya. Ia juga mengansumsikan bahwa Islam dan politik adalah satu kesatuan. Melalui SI, ia membukikan bagaimana teladan yang diberikan Nabi Muhammad dalam mengatur urusan Negara dengan berpedoman pada hokum-hukum yang telah ditetapkan Allah.


Tjokroaminoto memegang teguh nasionalisme dengan berlandaskan Islam. Menurutnya , Islam tidak pernah membedakan ras,wilayah dan status social, sehingga jelas, Islam mengajarkan Nasionalisme. Ia yakin dari Nasionalisme ala Islam dapat membuat rakyat Indonesia bersatu.


Oleh : Tim Redaksi (AA)

Sumber : Ibnu Mas’ud, WACANA LINTAS PEMIKIRAN: Interelasi Pemikiran Tokoh Dunia, Yogyakarta : Penerbit Media Kreativa,2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar