Sujud di atas sajadah (Tribunasia) |
Lima waktu sehari semalam,
17 rakaat rangkaian makna kulakukan. Kening itu menyentuhku,
sampai panas rasa wajahku.
Sembahyang itu, kala yang punya kening tapi rasaku...
Sekali lagi ini hanya rasaku.
Batin selalu merindu,tapi..
ini hanya sujud kosong, hampa, sunyi tanpa makna meski lima waktu selalu menciumku.
Namun sepertinya kening itu tak benar-benar mencintaiku.
Kenapa ? Mengapa bisa?
Karena kata angin, kata lirik mata yang sudah kening juga kalah kata hidung dan bahkan kata hembus nafasnya...
Semua menghantamku, menikam dalamnya jiwa dan rasaku.
Dia hanya sembahyang badannya, hatinya tidak di sini melanglang buana memikirkan dunia, mencari cara guna menunaikan niat jahatnya kolusi, korupsi, cara, harta bahkan manipulasi cinta.
Ah entahlah..
Kening,
Rasanya panas berulang kali menghantam kain berbulu ini, meski pelan tapi tetap perih.
Perih karena hanya kulitku saja yang menyentuh kain itu.
Tidak hati si empunya aku.
tidak..
Angannya melanglang menutupi kemayan yang harumnya sampai para resi.
Jiwanya seperti tidak di sini tapi, di tumpukan uang di sana.
Dideret angka kalkulator dan layar monitor pada gunungan rencana memiliki dunia.
Tidak, dia tidak sungguh-sungguh.
Hatinya kusut pakai sabut yang meracut.
Atau bilang sahaja, menurut bahasa si punya hati...
Dia tidak khusyuk.
Oleh : M. Cholifaturochman (Kontributor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar