Source img : jateng.idntimes.com |
“Heh, bangun! Jangan tidur terus!” tangan kekar itu mengguncang bahu Sigit. Sigit terlonjok. Matanya enggan terbuka. Tidur terus? Enak saja. Belum juga tidur 5 menit. Sigit ingat, dia baru saja membaca WA dari Pak Harun, pak Rt di kompleksnya. Pak Harun minta tolong di buatkan naskah peristiwa pertempuran 5 hari di Semarang. Nah... Saat merancang alas an untuk menghindar dari tugas itulah, sigit terlelap. Maklum saja, tadi malam Sigit, Agung, dan Kevin begadang sampai jam 2 pagi.
Sigit pamit kepada ibu hendak mengerjakan tugas kampus. Namun, apa mau di kata, sesampainya di tempat kost Agung, niat mulia itu menguap begitu saja. Acara berganti main gitar, dan membicarakan tak tik merebut perhatian Amel si kembang kampus. Endingnya, berdebat seru seputar wacana, Amel itu operasi plastic, botox atau tanam benang. Perawatannya apa coba, kok makin kinclong.
“Heh… malah melamun. Nih, pegang!” Bruk.. sebuah benda berat jatuh di pangkuan Sigit. Sigit terkejut.
“Astaghfirullah. Tobil anak kadal.” Mata Sigit terbelalak benda di pangkuan Sigit itu adalah M1 Carbine Nara. Sigit pernah melihat di museum. Senapan ini, senjata kuno rampasan perang di tahun 1945.
Keringat dingin menguncur di sekujur tubuh Sigit ketiaknya sampai basah. Saat mengusap keringat di pelipis. Sigit baru menyadari hal aneh lainnya. Pakaian yang menempel di tubuhnya kumal dan berbahan kasar. Warnanya perpaduan antara coklat, abu-abu dan hitam. Lusuh celananya lebih parah. Warnanya hitam pudar, kotor dan bau. Sigit curiga baju ini belum di cuci sejak seminggu yang lalu!
Telapak tangan Sigit semakin dingin saat menyentuh senapan tua itu. Dingin dan berat, dalam hati Sigit yakin senapan itu asli.
“Ini bukan senapan mainan dari plastik.” Guman Sigit takjub.
“Ini harus difoto lalu di pasang sebagai status keren, teman-teman pasti iri.” Tangan Sigit menggapai sekelilingnya mencari ponsel. Lho... mana handphone nya? Seingatnya, handphone itu dia letakkan dekat kepalanya, diatas bantal.
Sigit baru menyadari diinya tidak berada di kamar. Dimana ini??? Kenapa gelap begini? Dan siapa dua pemuda di dekatnya? Dalam keremangan cahaya bulan, kedua pemuda itu terlihat menyandang senjata.
Sigit panik. Tangannya makin sibuk menggapai kesana kemari. Dimana ponselnya??? Sebagai pemuda asli abad 21, akan mati gaya bila tanpa handphone. Gawai itu benda paling keramat, paling di cari dan paling penting. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, gawai tak pernah terpisahkan. Sampai-sampai masuk ke kamar mandi pun, ponsel tetap di bawa, Pendek kota, hidup damai bila ada gawai!
Dan di saat seperti ini, di negeri antah berantah ini, ponsel mutlak di perlukan!
Apakah dirinya di culik? Mungkinkah dirinya di bius lalu di gotong dari kamarnya? Tapi, orang tolol macam apa yang mau repot-repot menculiknya? Dia bukan anak konglomerat. Dia anak orang melarat. Ibunya penjual jamu gendong yang penghasilannya tak seberapa. Bapaknya supir truk pengangkut pasir dalam lagu karya Bang Haji Rama. Gali lubang tutup lubang untuk membiayai kuliahnya. Tak mungkin sanggup membayar uang tebusan.
Ataukah dirinya di larikan Jin? Hii… Sigit merinding. Kepalanya pening.
Tiba-tiba dari kegelapan seseorang muncul. Seorang pemuda berjalan terseok dengan nafas tersengal-sengal. Di bahunya tergantung sepucuk senapan. Setelah dekat, terlihat mukanya berkilat mandi keringat. Tubuhnya kurus namun ototnya liat, kulitnya gelap.
“Merdeka!” pekiknya.
“Merdeka!” balas dua pemuda di dekat Sigit.
“Ada berita apa, Bung?” Tanya seorang pemuda.
Si pemuda yang baru datang mengatur nafas. “dr. Karyadi di tembak Jepang!”
“Hah!! Dr. Karyadi kan pergi memeriksa tadon air di Candi desa Wungkal?”
“Lhaa iya, saat dalam perjalanan dr. Kariadi di hadang lalu di tembak!” jawab si pemuda dengan wajah tegang.
Dua pemuda di dekat Sigit serentak berdiri dengan tangan terkepal.” Jepang benar-benar menantang kita!
Dr. Kariadi? Jepang? Dueng!! Seolah ada cahaya terang menyala di kepala Sigit. Mata Sigit nanar memeriksa sekeliling. Bangunan sekolah tak jauh dari bukit Bergota. Tak salah lagi. Inilah tempat senjata Jepang yang berhasil dirampas disimpan. Ketiga pemuda pejuang ini yang menjaganya.
Sigit tersesat dalam kecamuk Perang 5 Hari di Semarang. Sejarah mencatat perang yang terjadi tanggal 15 s.d 19 Oktober 1945 itu adalah perang paling sengit di masa transisi penyerahan kekuasaan Jepang kepaa Tentara Sekutu. Hampir 3000 nyawa melayang dalam perang ini!
Nagasaki dan Hiroshima luluh latak oleh bom yang di jatuhkan sekutu Jepang menyerah tanpa syarat. Seluruh pemuda di Indonesia melucuti persenjataan pasukan Jepang, tak terkecuali di Kota Semarang. Namun Jepang tak sepenuhnya patuh. Hanya senjata using yang diserahkan. Hal itu memicu kemarahan pemuda Semarang. Ditambah lagi, pihak Jepang menyerang pasukan tanah air yang menjaga tendon air, dan bermaksud meracuni tendon air itu.
Penembakan keji hingga gugurnya dr. Kariadi, dan larinya tawanan Jepang yang hendak di pindahkan dari Cepiring ke Bulu, membuat kemarahan para pemuda memuncak. Apalagi diketahui kemudian, bahwa para tawanan itu bergabung dengan Kidobutai atau pasukan elit Jepang!
Sigit pucat, keringat dingin membanjir. Sigit bangkit.
“Kita harus pergi dari sini. Sebentar lagi akan terjadi perang.” Suara Sigit bergetar.
“Ayo, sebelum terlambat.” Sigit gemetar.
Di kejauhan terdengar pekik Merdeka dan suara rentetan senjata.
Ketiga pemuda pejuang menatap Sigit.”Apa kamu bilang??”
“Percayalah kepadaku. Aku sudah membaca peristiwa ini di buku. Sebentar lagi pasukan Kidobutai akan sampai disini dan membantai kita.” Pekik Sigit.
Seorang pemuda mendelik kearah Sigit , “Selama ini kamu kemana saja?! Kita kan memang sedang perang!”
“Kita sembunyi saja. Kita bisa tertembak dan mati.” Suara Sigit tercekik.
“kami tidak takut mati. Kami bangga dapat menyumbangkan jiwa raga untuk Ibu Pertiwi.
“Tapi, kalian masih muda.” Sergah Sigit.
“Justru karena kami masih muda kami harus berani membela bangsa ini!”
“Kalian rela?? Meskipun nanti kalian gugur dan tidak ada yang mengenang kalian?” Tanya Sigit gamang.
Suara teriakan, jeritan, tangisan anak kecil dan rentetan senjata yang memuntahkan peluru semakin dekat. Hingar binger.
“Ya kami rela! Kami tak butuh di sebut Pahlawan. Merdeka!” peluk para pemuda itu dan berlari ke jalan. Menyongsong Perang!
Wajah Sigit seputih kapas. Tangannya mencengkeram senapan tua. Tepat saat itu beberapa Tentara Jepang menyeruak mendekat dengan wajah beringas. Sigit gemetar sejadi-jadinya. Tangannya kikuk, tak paham bagaimana mengokang senapan. Tentara Jepang sampai di depan Sigit. Wajah bengisnya menyeringai. Sekuat tenaga Tentara itu mengayunkan senapan yang ujungnya tertancap bayonet!
“Aaaa….” Sigit berteriak tak terkendali. Matanya terpejam.
Gedubrak! Sigit terjerambab. Badannya basah, nafasnya tersengal-sengal.
Terdengar suara orang berlari mendekat.
“Kamu kenapa Git? Hah… kamu jatuh dari dipan? Kok wajahmu pucat begitu, kamu mimpi buruk?”
Lho, kok suara Ibu?
Sigit mebuka mata. Sigit berada di kamarnya. Lah mana Tentara Jepang tadi?
ibu pergi dan kembali dengan segelas air putih sigit minum hingga tandas. Sigit memeluk Ibu erat sambil sesenggukan.
Ibu kebingungan, “Eh, kamu kenapa? Kusut begitu seperti habis perang. Sudah tahu Maghrib, eh malah tidur. Bukannya membantu Ibu.”
Ternyata omelan Ibu terdengar indah. Sigit baru menyadarinya.
“Itu lho, di depan ada Pak RT mencari kamu.”
Sigit merenggangkan pelukannya, Sigit menatap Ibu.
“Apa? Kamu mau menyuruh Ibu bilang ke Pak RT kalau kamu sedang banyak tugas. Iya?” Ibu menghela nafas.
“Tidak Bu.”
Sigit menggeleng. “Tolong sampaikan kepada Pak RT, nanti malam Sigit datang ke acara Tirakatan warga. Sigit akan membawa cerita Pertempuran 5Hari di Semarang.”
Ibu tersenyum cerah. “Ibu bilang Pak RT dulu ya.”
Sigit menatap punggung Ibu dengan perasaan campur aduk. Sigit malu, sungguh malu. Selama ini tak terpikirkan olehnya untuk berbakti kepada keluarga, lingkungan apalagi bangsa dan Negara.
Sigit menyesal, selama ini tidak serius kuliah. Kuliah sekedar untuk gaya, gengsi dan demi bisa nongkrong bersama teman. Sigit teringat Anto dan Desi, dua bocah yang tinggal di sebalah rumahnya. Bapaknya sudah meninggal. Ibunya kerja minta diajari matematika, tapi Sigit malas membantu.
Pemuda macam apa dirinya? Sungguh pemuda yang tidak tahu terima kasih. Ribuan bahkan jutaan nyawa dipertaruhkan untuk menebus kemerdekaan dan pemuda ini, hanya mengisi kemerdekaan dengan bermalas-malasan. Sigit terisak.
Handphone diatas bental bergetar. Sigit terkejut WA dari Agung. “Bro, nanti malam Amel ikut lomba fashion show di Café Lintang. Nonton sama-sama ya.”
Sigit mengetik cepat. “Maaf Bro, sudah ada acara Tirakatan warga.”
Sekejab balasan Agung masuk. “ Tirakatan? Nggak salah nih? Jadul amat.”
Sigit mengirim emoji bendera merah putih, menggapai handuk dan menuju ke kamar mandi. Sigit ingin berubah, sigit ingin berbuat sesuatu untuk bumi pertiwi. Meski kecil dan sedikit. Tak mengapa.
Salam Pemuda, Satu nusa, Satu bangsa, Satu bahasa, Merdeka!
Semarang, 19 Oktober 2020
Oleh : Tri Kundarni (Kontributor)
BIODATA
Nama Lengkap : Tri Kundarni
Alamat : Wonolopo RT 03 RW 07 Kel. Wonolopo, kec. Mijen, Kota Semarang.Jateng. 50215
Email : pakpond86@gmail.com
No. Tlp/WA : 082135836525
Tidak ada komentar:
Posting Komentar