Monumen Pancasila Sakti (Kompas) |
Gugur
Gugur....
Ia merangkak diatas bumi yang di cintainya.
Tiada kuasa lagi menegak.
Telah ia lepaskan dengan gemilang.
Pelor terakhir dari bedilnya.
Ke dada musuh yang merebut kotanya.
Ia merangkak diatas bumi yang dicintainya.
Ia sudah tua.
Luka-luka dibadannya.
Bagai harimau tua.
Susah payah maut menjeratnya.
Matanya bagai saga.
Menatap musuh pergi dari kotanya.
Gugur....
Sesudah pertempuran yang gemilang itu,
lima pemuda mengangkatnya diantara anaknya.
Ia menolak.
Dan tetap merangkak.
Menuju kota kesayangannya.
Ia merangkat diatas bumi yang dicintainya.
Belum lagi selusin tindak.
Maut pun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya.
Ia berkata,
"Yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah".
Kita bukanlah anak jadah.
Karena kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita.
Dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang syah.
Bumi kita adalah kerhormatan.
Bumi kita adalah jiwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumu waris yang akan datang.
Gugur....
Hari pun berangkat malam.
Bumi berpeluh dan terbakar.
Karena api menyala di medan perang.
Orang tua itu kembali berkata.
"Lihatlah hari telah fajar!".
Wahai bumi yang indah.
Kita akan berpelukan buat selamanya.
Gugur.....
Nanti sekali waktu.
Seorang cucuku.
Akan menancapkan bajak.
Dibumi tempatku terkubur.
Kemudian akan ditanamnya benih dan,
tumbuhan dengan subur.
Maka ia pun berkata,
"Alangkah gemburnya tanah disini".
Hari pun lengkap malam.
Ketika ia menutup matanya.
Oleh : Aqila A A (Kontributor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar