Politik Etis adalah Pedang Bermata Dua - Klik Media 9

Breaking

Sabtu, 08 Mei 2021

Politik Etis adalah Pedang Bermata Dua


Klikmedia9.com - Berbicara tentang politik etis atau sering disebut sebagai politik balas budi merupakan kebijakan resmi dari kolonial Hindia Belanda selama kurang lebih 4 dekade,  sebelum kependudukan Jepang kisaran tahun 1942, dengan menanamkan paham bahwasanya pemerintah Belanda mempunyai kewajiban mensejahterakan rakyat, sebab telah memberikan kemakmuran bagi pemerintah Belanda dan kerajaan Belanda.


Pada awalnya ia dimaksudkan untuk meninggikan daya beli rakyat Hindia Belanda, serta menghasilkan buruh-buruh murah dan birokrat rendahan yang cukup terdidik dari rakyat tanah jajahan. Ternyata, usut punya usut, sekolah-sekolah Hindia Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat (kelas sosial tertinggi dalam masyarakat pramodern atau priyayi) seperti Soekarno, mampu menghasilkan sekumpulan orang-orang berpendidikan kritis yang pada masa nya menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.


Perkebunan dan sawah-sawah tumbuh subur dengan disirami air dari bendungan irigasi yang dibangun oleh penjajah Belanda. Para pemuda kita pun berbondong-bondong memasuki sekolah rakyat, HIS, MULO, dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA) dan sekolah guru (kweekschool). Akhirnya, pencerahan pun datang setelah melewati masa-masa gelap nan suram. Buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris membuka mata dan hati tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh pelosok bumi pertiwi ini. Pencerahan menggugat para kaum muda untuk berkumpul, berbicara, dan berdiskusi menentukan arah kedepan suatu bangsa yang di dambakan. Al hasil lahirlah organisasi kepemudaan pada waktu itu yaitu Budi Utomo pada tahun 1908.


Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik Jawa mengumumkan Budi Utomo, Api perjuangan melawan Belanda telah berkobar dimana-mana. Bukan untuk pembebasan Indonesia, karena ia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi sesederhana untuk membebaskan tanah leluhur, gunung-gunung, bukit, lautan, sungai-sungai, pulau dan rakyatnya. 


Diakhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Sebatas, membantu suami pada awalnya, tetapi sungguh-sungguh, kemudian menjadi pemimpin pasukannya. Gagasan kesetaraan gender belum ada, dan sama sekali belum menjadi sebuah kesadaran. Namun yang menarik adalah kebanyakan dari kaum perempuan merupakan dari kalangan bangsawan, para ningrat dengan status sosial lebih tinggi dibandingkan dengan "kawulo" yang bertelanjang dada berwarna coklat pekat itu. Ini bisa dipahami, karena beberapa memilih angkat senjata sebab tanah-tanah keluarganya diserobot oleh kompeni. Tak perlu masuk sekolah Belanda untuk membangun gerakan nasional, para perempuan ini angkat senjata dengan gigih dan berani membayar dengan nyawanya demi mempertahankan tanah luhur nya.


Oleh : A.Almasykur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar