Dalam Jejak Kartini - Klik Media 9

Breaking

Jumat, 18 Juni 2021

Dalam Jejak Kartini

 


Oleh : Lina Setiani

April 2013.

“Anak perempuan itu tugasnya di rumah, bantu budhe di dapur, toh nanti kamu bakal jadi ibu rumah tangga, buat apa sekolah tinggi-tinggi?” ujar Budhe Darmi, beliau adalah kakak dari ayahku. Memang semenjak ayah dan ibuku meninggal akibat kecelakaan beberapa bulan silam, aku dan Rahmi adikku tinggal bersama Budhe Darmi dan juga suami beliau di sebuah desa kecil yang terletak di Semarang.


“Ajeng mau lanjut kuliah, Budhe. Ajeng janji nggak akan ngerepotin Budhe.”


“Nggak ngerepotin gimana? Memang kamu mau dapat uang dari mana? Budhe nggak sanggup ya ndurusi kekarepanmu.”


Aku terdiam sejenak, dadaku rasanya sesak sekali mendengar ucapan Budhe Darmi, tetapi aku tetap teguh dengan keinginanku, impianku sejak dulu adalah aku ingin sarjana sebelum aku menikah. Menjadi seorang wanita seharusnya adalah sebuah kehormatan, tetapi pemikiran di keluargaku seakan sebaliknya, seorang wanita tidak perlu sekolah tinggi karena kodrat wanita adalah menjadi pelayan untuk suaminya kelak.


Pernyataan tersebut tidak salah, tapi bukankah seorang wanita juga berhak hidup untuk mendapat hak yang sama seperti laki-laki?


Jika pemikiran semua orang masih pada pemikiran di mana kodrat wanita di bawah laki-laki, lalu bagaimana dengan perjuangan R.A Kartini yang sudah berjuang demi menaikan derajat perempuan. R.A Kartini berjuang untuk menyetarakan derajat wanita dan pria, tetapi masih ada sebagian orang yang berpikir derajat keduanya sangat berbeda.


“Maaf Budhe, bukannya Ajeng bermaksud melawan, tapi itu impian Ajeng sejak dulu, Ajeng janji budhe, Ajeng janji akan cari biaya kuliah sendiri,” ucapku masih meyakinkan Budhe.


Tapi percuma saja, sepertinya budhe tetap pada pendiriannya. “Anaknya Pak Hamdan mau melamar kamu, kalau kamu kuliah gimana kamu bisa nikah sama anaknya Pak Hamdan?”


“Tapi Ajeng nggak suka sama Mas Agfa, kalaupun Ajeng nggak kuliah juga Ajeng nggak mau nikah sama dia.”


 “Kamu gimana to, Agfa itu pinter, bibit bebet bobotnya sudah jelas, kalau kamu nggak bisa dibilangin budhe, kamu nggak usah ikut budhe, kamu tinggal saja sendiri,” ucapan Budhe sungguh menyayat hatiku, bagaimana bisa seseorang yang sudah kuanggap sebagai pengganti ibu tega-teganya mengusirku.


“Budhe, maafin Ajeng, tapi Ajeng mau kuliah.”


“Ya sudah, terserah kamu, tapi kamu nggak usah tinggal sama Budhe.”


“Maksudnya budhe ngusir Ajeng?”


“Iya! Kamu sudah nggak bisa budhe bilangin lagi, pemikiran kamu sudah dikotori oleh bangku sekolah, kamu jadi ngeyelan sama orang tua, kamu bisa pergi dari rumah ini lalu cari keinginanmu sendiri,” ucapan Budhe seakan perintah mutlak yang tak bisa ditolak. Air mataku menetes di pipi, namun secepat kilat aku mengusapnya.


Aku mengangguk seraya berucap, “Baik, kalau itu keinginan budhe, Ajeng dan Rahmi akan pergi.”

***

Dan di sinilah aku sekarang, setelah budhe mengusir kami, aku dan Rahmi adikku terpaksa pergi meninggalkan Semarang dan memilih pergi ke Yogakarta untuk melanjutkan pendidikanku di Yogakarta.


Aku tahu membantah budhe bukan hal yang patut dicontoh, tapi aku juga tidak ingin mendapat perjodohan dengan Mas Agfa. Bagaimana mungkin aku menikah dengan seorang yang dulu pernah melecehkanku. Iya, cerita ini tak pernah kuceritakan pada siapa pun sebelumnya, termasuk budhe.


Ketika itu aku baru pulang sekolah, aku memang anak yang aktif berorganisasi sehingga kerap sekali aku harus pulang larut malam karena ada rapat OSIS. Malam itu aku baru pulang dari sekolah, memang di desaku ketika di atas jam tujuh malam pasti suasananya sudah sangat sepi, ketika aku sedang jalan sendiri di jalanan yang sepi, Mas Agfa datang dan memelukku dari belakang, tentu aku sangat terkejut bukan main dengan perlakuannya, belum sampai di situ ia memegang kemaluanku sembari memelukku dari belakang. 


Aku berteriak sekencang mungkin, tapi sepertinya percuma karena tidak ada yang mendengar teriakanku, kemudian aku lari secepat mungkin untuk menghindari Mas Agfa, aku bersembunyi dibalik gerobak sampah sampai Mas Agfa tidak bisa lagi menemukanku.


Aku benar-benar shock, setelah kejadian itu aku mengalami trauma, tapi aku takut untuk menceritakan kepada siapa pun termasuk budheku. Aku memendam semuanya sendiri sampai rasanya aku nyaris depresi. Aku mengalami kepanikan setiap berada di tempat sepi, dadaku bergemuruh dan keringat bercucuran, itu berlangsung selama hampir setahun sebelum akhirnya aku mulai bisa berdamai dengan perasaanku sendiri.


Kini aku sudah berdamai dengan perasaanku, aku hidup di kota orang hanya bersama adikku, dan aku harus menjadi kakak sekaligus orang tua untuk Rahmi. Rasanya ini jauh lebih baik ketimbang aku tinggal bersama Budhe yang selalu menentang kami. Selain keinginan yang selalu dikekang, budhe adalah sosok orang yang kasar, tidak jarang beliau membentak dan memukul aku dan Rahmi jika membuat kesalahan.


Aku rasa keputusanku untuk akhirnya memilih pergi dari rumah budhe adalah keputusan yang tepat, mentalku kini jadi lebih baik, meski harus berjuang lebih keras untuk bertahan hidup.


“Rahmi sekolah yang benar, kita harus jadi perempuan yang cerdas serta berpendidikan. Kita memang bukan orang kaya dan kita tidak bisa memilih takdir itu, tapi kita harus menjadi orang pintar, dan kita bisa memilih untuk menjadi pintar dengan cara belajar yang giat. Rahmi ngerti kan maksud kakak?”


Rahmi mengangguk paham seraya tersenyum, adikku ini masih duduk di bangku SMP kelas VIII, aku selalu menanamkan pada Rahmi untuk belajar yang giat, menjadi cerdas itu pilihan, jika kita diam dan tidak melakukan apa pun maka kamu harus siap dengan kebodohan, tetapi kalau kamu mau maju dan belajar, maka kamu akan mendapat apa yang kamu inginkan termasuk kecerdasan.


Kini aku melanjutkan pendidikanku di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di jurusan komunikasi dan penyiaran islam, UIN adalah kampus impianku sejak dulu. Wish list yang aku tulis dan aku tempel di buku diariku. Aku mendapat beasiswa prestasi penuh sampai aku lulus S1.


Selain itu aku juga berjualan jilbab dan aksesorisnya yang kujahit sendiri di rumah. Dengan berjualan hasilnya bisa kugunakan untuk melanjutkan hidup aku dan adikku. Biasanya aku juga sering disuruh tetangga untuk membantu beliau mencuci baju, dengan itu aku juga mendapat upah dan itu bisa menjadi uang saku tambahan untukku dan Rahmi. Seperti yang kukatakan, aku memang berjuang dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya, tapi entah kenapa aku senang melakukannya.

***

Januari 2017.


Tiga tahun sudah berlalu, aku berhasil melalui pahit manisnya kehidupan, kini aku tengah menuai hasil perjuangan yang sudah kulakukan selama tiga setengah tahun belakangan. Aku berdiri di depan banyak orang dengan toga yang berdiri kokoh di kepalaku, dan selempang hitam bertuliskan “Cumlaude”. Dengan senyum yang merekah aku melihat ke arah audience, sosok gadis yang tersenyum sembari melambaikan tangannya ke arahku.


Senyumannya jelas terlihat sangat tulus, gadis kecil yang menjadi alasanku berdiri kokoh melawan badai kehidupan, yang menjadi alasan aku berjuang untuk tetap bertahan demi hidupku dan hidupnya.


Setelah memberikan ucapan terima kasih kepada rektor, dekan, dosen, rekan, dan teman-temanku, aku melambaikan tangan ke arah adikku.


“Dia adalah adikku, namanya Rahmi, anak kuat yang kurawat setelah ayah dan ibu kami pergi selama-lamanya, gadis cerdas yang selalu memberi semangat untuk kakaknya. Ketika aku lelah, aku melihat wajahnya dan aku merasa bahwa aku harus berjuang sedikit lebih keras lagi untuk kehidupannya, ketika aku ingin tumbang aku melihat wajahnya sekali lagi dan lagi-lagi ia menjadi alasanku untuk bertahan, ketika itu aku berpikir setidaknya jika aku tidak bisa bertahan karena diriku, aku harus bisa bertahan karena adikku,” ucapku dengan air mata yang sudah menetes di pipi. “Adikku, terima kasih sudah menemani kakakmu ini berjuang, tapi perjuangan kita belum selesai, sekali lagi kakak masih harus berjuang untuk kehidupan kita. Kakak selalu bilang, meskipun kita perempuan dan hidup tanpa orang tua, kakak tau bahwa kita kuat dan kita bisa.”


“Kembali ke tahun-tahun sebelum saya masuk ke kampus ini, seseorang melarang saya untuk kuliah karena beliau kira seorang perempuan tidak bisa apa-apa. Di sini saya akan menegaskan bahwa perempuan juga bisa! Saya telah membuktikan bahwa perempuan juga bisa berdiri tegak dan bicara dengan lantang di hadapan banyak orang. Pernyataan tentang perempuan hanya bisa di sumur, dapur, kasur itu tidak sepenuhnya benar, karena perempuan juga memiliki hak untuk menggapai cita-citanya. Saya yakin perjuangan ini belum usai, karena perjuangan saya masih panjang untuk melanjutkan perjuangan R.A Kartini untuk kesejahteraan perempuan.”


Riuhnya tepuk tangan dari ribuan audience memenuhi gedung, kemudian aku melihat ke arah adikku yang tersenyum merekah, aku berkata pada diriku sendiri, “thats my personal reason.”


Kini aku lulus dengan predikat cumlaude, mahasiswa dengan IPK tertinggi dan lulus tercepat, aku juga sudah mendirikan butik dengan beberapa cabang di berbagai kota dan konveksi hijab dengan ratusan karyawan di dalamnya yang rata-rata adalah seorang perempuan. Aku yakin bahwa perempuan juga bisa, kini tinggal kita yang harus menentukan dengan seberapa besar perjuangan dan akan menjadi apa kita dimasa depan.


Adikku juga bersekolah di SMA Negeri dengan beasiswa yang ia dapatkan, aku bersyukur karena adikku bisa memegang perkataan yang sering kukatakan, ia tumbuh menjadi anak yang mandiri, kuat, dan cerdas.


Aku juga sudah membeli rumah untuk kami berdua tinggal, cukup mewah jika dibandingkan dengan kost ku yang dulu. Beberapa fasilitas mewah yang sebelumnya hanya kuimpikan, kini sudah bisa kubeli dengan hasil jeri payahku sendiri.


***

Januari 2019.

Beberapa tahun setelah aku lulus kuliah dan menjalani kehidupan sebagai wanita karier, seorang pria datang ke rumah dan meminangku, pria hebat yang juga ikut andil mensupport segala yang kulakukan.


Namanya Fahri, ia adalah teman sekelasku ketika kami kuliah dulu. Anaknya luar biasa baik, sikapnya yang santun dan sangat menghargai wanita. Itu yang mungkin membuatku tertarik padanya. Ia kini berprofesi sebagai seorang pengusaha, motivator, dan juga pendakwah di kota Yogyakarta.


Tahun 2019 aku menerima pinangannya dan kemudian kami menikah. Fahri adalah sosok suami yang sangat bertanggung jawab, ia sangat menyayangiku dan juga Rahmi adikku. Setahun pernikahan, kami dikaruniai seorang putri cantik yang kuberi nama Aisyah Humairah, dan aku berjanji kepada diriku bahwa aku akan menjadikan Aisyah seorang perempuan yang hebat, cerdas, dan berdedikasi.


Atas segala lika-liku hidupku aku banyak belajar mengenai begitu beratnya perjuangan, tapi tentu tidak ada hasil yang mengkhianati usaha, setelah pahitnya hidup kulalui, kini aku tengah menuai manis yang belum sempat kurasakan.


Terima kasih kepada orang-orang yang telah banyak mencintaiku, memberi dukungan, dan terus mendorong hingga aku menjadi perempuan yang tangguh. Aku mencintai kalian semua 


Biodata Narasi

Gadis bernama Lina Setiyani ini lahir di Purworejo Jawa tengah pada tanggal 30 Desember 2000. Setelah menyelesaikan pendidikan di jenjang menengah atas, ia melanjutkan Pendidikannya di Sekolah Tinggi Agama Islam Nadhlatul Ulama Purworejo angkatan tahun  2020 prodi Pendidikan Agama Islam. Menulis adalah hobinya sejak dulu, 12 karya cerpen dan puisinya sudah diterbitkan dalam bentuk buku antologi. Ia juga mempunyai penerbitan buku yang ia bangun sejak awal tahun 2020 yang diberi nama Lintang Narasi.

Jika ingin lebih kenal dengan penulis, dapat dihubungi melalui ;

Instagram : @_lina_setiyani

Email : linanic1718@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar