Untuk Ibu - Klik Media 9

Breaking

Kamis, 01 Juli 2021

Untuk Ibu

 Untuk Ibu

Karya : Lina Setiyani



“Bukankah rasa sedih yang sesungguhnya adalah ketika kita sudah tak bisa lagi keluar air mata? Dan itulah yang kurasakan sekarang.” Hilya Arrahma.

***

Pagi itu aku terbangun dari tidur nyenyakku karena tiba-tiba saja aku mendengar suara dentingan panci yang cukup keras dari dapur. Aku segera bergegas ke ruang dapur dan mendapati sosok ibuku yang tengah memungut panci berisi adonan kue pisang yang terjatuh di lantai.

“Astaghfirullah, ibu,” ucapku refleks. Aku membantu ibu membersihkan adonan yang jatuh di lantai. Semua adonan kuenya kotor dan pasti sudah tidak bisa digunakan lagi.

Setelah selesai membersihkan lantai yang kotor akibat adonan, ibu duduk di kursi dengan wajah yang terlihat lesu. Ibu memang tidak bicara, namun aku bisa melihat jelas raut kesedihan di wajahnya.

“Maafin ibu ya, adonannya jadi rusak, ibu jadi nggak bisa jualan hari ini, padahal kamu belum bayar SPP bulan ini,” ucap ibu sembari menggenggam tanganku.

Aku berusaha tersenyum di hadapan ibu. “Nggak papa, bu, namanya juga musibah, nanti Hilya bisa bantu ibu cari uang juga buat bantu bayar SPP.” Aku berusaha menenangkan ibu, walau sebenarnya aku sendiri juga bingung. Bagaimana tidak, semenjak adanya pandemi Covid 19, omset dagangan ibu menurun drastis, belum lagi biaya sekolah Azam adikku yang sekarang duduk di bangku SMP, dan juga Azizah yang masih duduk dibangku sekolah SD.

Bagiku, ibu adalah wanita terkuat yang pernah kutemui. Semenjak ayah meninggal lima tahun silam, beliau menghidupi kami bertiga seorang diri. Setiap hari ibu berjualan kue di sekolahan, kadang menjual gorengan atau nasi uduk. Sorenya setelah berjualan, ibu menjadi buruh cuci gosok di rumah tetangga kami.

Pekerjaan apa pun ibu lakukan untuk menghidupi anak-anaknya. Tapi meski begitu, ibu tidak pernah mengeluh sedikit pun.

Apalagi sekarang ini, di tengah pandemi Covid 19 ibu tidak bisa lagi berjualan di sekolahan. Karena semua sekolah ditutup, dan pemerintah me-lockdown semua daerah di Jakarta. Itu sebabnya keluarga kami benar-benar kesulitan dimasa seperti ini.

Bantuan pemerintah pun kadang salah sasaran, banyak rakyat kecil yang justru tidak mendapat bantuan, sedangkan orang yang dirasa mampu malah mendapat bantuan. Termasuk keluarga kami, kami tidak mendapat sedikit pun bantuan dari pemerintah, terkadang kami harus menahan lapar saat dagangan ibu tidak ada yang membeli, selain rugi kami juga terpaksa harus tidak makan karena tidak punya uang sama sekali.

“Maaf ya Bu, Hilya sama adik-adik selalu ngerepotin ibu,” ucapku dengan air mata yang sudah di pelupuk mata.

“Kalian nggak pernah jadi beban untuk ibu, justru kalian adalah semangat untuk ibu. Pokoknya kamu sama adik-adik kamu harus sekolah yang tinggi, ibu mau kalian jadi Sarjana.”

Ucapan ibu benar-benar membuat air mataku mengalir. Aku memeluk ibu sangat erat, pelukan hangat yang selalu kurindukan setiap saat. Aku sangat mencintai wanita ini, lebih dari aku mencintai diriku sendiri.

“Nanti ibu gajian dari Bu Isti, upah kemarin ibu cuci gosok di rumah beliau, nanti sore ibu kasih uangnya ke kamu ya, besoknya kamu bayar SPP, sebentar lagi kamu kan lulus SMA, jadi harus semangat, jangan telat terus bayar SPP-nya.”

“Iya, Bu. Terima kasih, Hilya sayang sama ibu,” ucapku masih dengan air mata yang terus menetes, ibu menjawab dengan anggukan dan sorot mata tulus.

***

Pagi itu aku masih sibuk dengan pembelajaran daring yang diadakan selama masa pandemi masih berlangsung. Aku menggunakan ponsel yang dibelikan oleh ibu satu bulan yang lalu menggunakan uang tabungannya. Karena memang sudah lebih dari sebulan masa pandemi ini berlangsung, dan masih belum berakhir juga. Alhasil sekolah mewajibkan siswanya belajar menggunakan metode pembelajaran daring.

Begitu juga dengan kedua adikku, aku dan mereka menggunakan ponsel ini secara bergantian untuk belajar karena kami hanya memiliki satu ponsel.

Tepat jam dua siang, pelajaran sudah selesai. Aku segera bergegas ke luar rumah. Semenjak aku sekolah daring di rumah, aku membantu Mbak Yuni tetanggaku menjaga konter handphone miliknya, biasanya sehari aku diberi upah sepuluh ribu rupiah, cukup untuk makan keluarga kami seharian.

Aku bersyukur Mbak Yuni mempercayai konternya padaku, aku jadi bisa mendapat penghasilan walau tidak seberapa, tapi bagi keluarga kami itu sangat berharga luar biasa.

Baru saja setengah perjalanan aku menuju konter Mbak Yuni, tiba-tiba saja aku melihat segerombol orang yang mengerubung satu titik, aku segera berlari untuk melihat apa yang terjadi di sana.

“Iya pak, tadi tabrak lari, mobilnya kabur ke sana.”

“Inalillahi, orangnya udah meninggal.”

“Beneran pak? Astaghfirullah.”

“Iya bener, bu.”

“Ih, ini kan Bu Aisyah.”

Suara orang-orang yang berada di sana saling bersahut-sahutan, hingga aku mendengar nama ibuku disebut, langsung saja aku menerobos melalui sela-sela gerombolan tersebut. Dan benar saja, aku melihat tubuh ibu tergeletak di sana, dengan darah yang bercucuran di sekitarnya.

Aku benar-benar shock, tubuhku seketika kaku, tanganku dingin dan berkeringat, masih tidak percaya dengan kebenaran ini. Beberapa detik kemudian seorang ibu-ibu berucap hingga menyadarkanku dari alam bawah sadar. “Ini kan anaknya.”

“Ibu!!!” jeritku cukup keras. Tubuhku yang semula kaku seketika mengigil dan lemas, kaki dan tubuhku gemetar hebat. Aku masih berharap bahwa kejadian ini hanya mimpi atau sekadar halusinasi.

Tapi tidak, semuanya nyata.

Hingga akhirnya lututku lemas tak mampu menopang anggota badan, aku terduduk di aspal. Aku memegang wajah ibu yang sudah berlumur darah, aku meraung-raung di sebelah jasad ibu, ibu yang semalam kupeluk tubuhnya, yang semalam kurasakan kehangatannya, sekarang tergeletak lemas di aspal dengan tubuh yang bersimbah darah. Aku masih belum bisa menerima kenyataan ini.

***

Akhirnya jasad ibu dibawa ke rumah. Polisi juga sedang melacak siapa orang yang menabrak ibu dan kabur begitu saja. Dan saat ini aku sedang duduk di tengah kerumunan orang yang sedang membacakan doa untuk ibuku. Tak ada lagi air mata, aku hanya duduk di samping jenazah ibu bersama kedua adikku yang lain. Azam dan Azizah tentu merasa sangat terpukul, awalnya mereka menangis, namun saat ini mereka sudah mulai bisa mengontrol emosinya.

Jujur aku merasa sangat rapuh saat ini, tapi aku harus terlihat sekuat baja demi adik-adikku. Aku tidak ingin membuat mereka semakin sedih karena melihatku menangis. Bukankah rasa sedih yang sesungguhnya adalah ketika kita sudah tak bisa lagi keluar air mata? Dan itulah yang kurasakan sekarang.

Sekarang aku bukan hanya seorang kakak bagi kedua adikku, tapi juga tulang punggung untuk mereka. Aku jadi ingat ucapan ibu semalam, ibu ingin anak-anaknya menjadi seorang sarjana, dan aku berjanji akan mewujudkan keinginan terakhir ibu.

“Neng, ini tadi pas jenazah di mandikan, ada yang nemu kertas dan uang ini disaku baju ibu kamu,” ucap Bu Asih, beliau adalah istri dari Pak RT.

“Terima kasih ya, bu.” Aku menerima barang tersebut, dan segera membuka kertasnya.

Ada uang sebanyak Rp.350.000, dan secarik kertas yang berisi ;

150.000 bayar SPP Halwa

50.000 beli kuota buat belajar

100.000 buat modal dagang

50.000 bayar hutang warung Bu Narti

Membaca itu membuatku dadaku terasa sesak, aku kembali mengingat ucapan ibu semalam, aku ingat semalam ibu berjanji akan memberi uang untukku membayar SPP, dan seperti biasanya ibu tidak pernah mengingkari janjinya. Air mataku otomatis menetes, tapi secepat kilat aku mengusap agar Azam dan Azizah tidak melihatku yang sedang menangis.

Setelah persiapan pemakaman selesai, jenazah ibu segera dimakamkan, aku tidak ikut ke makam ibu, karena aku merasa aku tidak akan kuat, hanya Azam yang ikut ke pemakaman, sedangkan aku dan Azizah tetap di rumah.

***

Bulan demi bulan berlalu, setelah ibu meninggal aku yang menggantikan ibu menjual kue, setiap pagi aku menitipkan kue buatanku ke warung, lalu sorenya aku mengambil uang hasil penjualan tersebut.

Aku juga dinyatakan lulus dari sekolah dan mendapat peringkat pertama dari satu angkatan. Aku juga dinyatakan lulus SNMPTN dan mendapat beasiswa penuh di Universitas Negeri Jakarta. Aku sangat bersyukur sekali, karena Allah sangat berbaik hati padaku.

Azam juga sudah lulus SMP dan sekarang melanjutkan sekolahnya di SMA Negeri yang cukup favorit di Jakarta, dan Azam juga mendapat beasiswa sama sepertiku. Sementara Azizah, ia sekarang masih duduk dibangku kelas 5 SD, aku berharap, ia juga bisa seperti aku dan Azam yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Aku selalu mengajarkan kepada adik-adikku untuk belajar yang giat supaya bisa sekolah tinggi dan menjadi sarjana seperti apa yang ibu inginkan, setidaknya untuk meraih beasiswa, kita harus pandai dalam hal akademik. Dan aku menanamkan itu kepada adik-adikku.

Dan aku juga bersyukur karena Azam dan Azizah juga memiliki nilai yang bagus di sekolah, mereka selalu menjadi juara, dan aku rasa dengan begitu bisa menjadi tiket mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

***

Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun sudah beberapa kali berganti. Sudah tahun ke empat aku menjadi seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi. Kini aku bukan hanya seorang mahasiswa, tapi juga pengusaha. Aku dinyatakan lulus dengan predikat Cumlaude dengan IPK 3,98, menjadi lulusan terbaik di Universitas Negeri Jakarta tentu membuatku merasa bangga.

Kue buatanku juga ternyata banyak disukai orang, awalnya aku hanya membuka pesanan untuk orang-orang hajatan, tapi lama kelamaan bisnis kueku semakin berkembang, selama dua tahun aku mengumpulkan uang dari hasil berjualan kue untuk membuka toko kue. Dan benar saja, di tahun ketiga aku kuliah, aku sudah berhasil mengembangkan bisnisku, toko kueku sudah berdiri, setengah tahun berikutnya aku sudah berhasil membuka cabang di Bandung.

Ini benar-benar seperti mimpi bagiku, semua yang awalnya di bawah, tiba-tiba Allah naikkan, semua yang awalnya serba kekurangan, tiba-tiba Allah cukupkan, bahkan Allah lebihkan. Aku benar-benar bersyukur luar biasa. Ma Sya Allah, terima kasih atas segala nikmat yang engkau berikan kepadaku dan keluargaku.

Azam juga sekarang sudah melanjutkan kuliahnya di Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, sedangkan Azizah sekarang duduk di bangku SMP kelas IX di sekolah negeri Jakarta. Aku juga sudah membeli rumah sendiri dan fasilitas lain yang sebelumnya tak pernah kupunya, selain itu aku juga membangun sebuah panti asuhan untuk anak-anak yatim-piatu yang terlantar di jalanan.

Yayasan itu kuberi nama “Yayasan Kasih Aisyah” seperti nama ibuku yang bernama “Aisyah”. Aku ingin mengenang nama ibuku dengan panti asuhan ini. Setiap aku melihat anak-anak di panti, aku seperti melihat diriku dan adik-adikku beberapa tahun silam, saat aku menjadi seorang anak yatim piatu, dan harus menghidupi keluarga sendirian tanpa orang tua. Sekarang Allah sudah memutar roda kehidupanku menjadi lebih baik lagi, aku sangat bersyukur atas apa yang sudah Allah berikan padaku.

Untuk ibu...

Terima kasih sudah mengajarkan Hilya menjadi sosok yang kuat seperti ibu, dulu ibu yang memotivasi Hilya untuk jadi orang kuat, dan sekarang Hilya sudah membuktikan itu. Semoga ibu tenang di sana. Hilya sudah jadi sarjana seperti keinginan ibu waktu itu, Azam juga sudah kuliah di Universitas terbaik di Indonesia, nilai Azizah di sekolah juga bagus-bagus. Semoga ibu bahagia mendengar kabar ini, salam rindu dari putri sulungmu. 

Hilya Arrahma.

***

Biodata Narasi

Gadis bernama Lina Setiyani ini lahir di Purworejo Jawa tengah pada tanggal 30 Desember 2000. Setelah menyelesaikan pendidikan di jenjang menengah atas, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Agama Islam Nadhlatul Ulama Purworejo angkatan tahun 2020 prodi Pendidikan Agama Islam. Menulis adalah hobinya sejak dulu, 12 karya cerpen dan puisinya sudah diterbitkan dalam bentuk buku antologi. Ia juga mempunya penerbitan buku yang ia bangun sejak awal tahun 2020 yang diberi nama Lintang Narasi.

Jika ingin lebih kenal dengan penulis, dapat dihubungi melalui ;

Instagram : @_lina_setiyani

Email : linanic1718@gmail.com

WhatsApp : 0881025422226

Tidak ada komentar:

Posting Komentar