Alunan suara air laut mulai terasa,
Bagaikan tujuh petala cinta,
Menguraikan,
Sembilan puluh sembilan kali rindu,
Di bawah langit kota Madinah,
Kusebut suara indah menggetarkan jiwa,
Rintikan angin yang memburu hati yang menggelora,
Akan sebuah cinta suci Illahi.
Wajah teduhmu bagaikan rembulan purnama,
Fajar mulai menyapa sang kekasih penuh cinta,
Bagaikan salju yang turun di musim semi,
Indah merekah bak buih air di lautan,
Ku rangkai tasbih cinta untuk kisah ini
Mengalun bagaikan hembusan bintang di langit.
Di bawah langit kota Mekkah,
Lantunkan sebuah bait puisi sang sufi,
Bagai tetesan padang pasir di musim cinta,
Kerinduan pada sosok mulia nan indah mempesona,
Makhluk sempurna yang memimpin dunia.
Kini…….
Engkau telah tiada,
Haruskah aku melupakanmu?,
Tidak sampai kapanpun itu takkan terjadi,
Aku mencintaimu tanpa sebuah syarat,
Walaupun tak pernah kupandang wajah sucimu.
Namun…….
Engkau selalu dalam sanubariku yang terdalam,
Wahai sang Rasulullah,
Entah kapan kita akan bertemu.
Mungkin……..
Dibawah langit palestina,
Ku rangkaikan kalimat Tauhid menggetarkan qolbu,
Api tauhid telah menyala,
Bagaikan gumpalan ombak di lautan luas,
Mengalun indah seumpama intan permata dunia,
Cahaya cinta suci yang kau pancarkan,
Membuat sang ibunda muslimah pertama mengagumimu,
Salju yang menetes bagaikan fatamorgana dunia.
Namun…….
Di bawah langit palestina,
Dulu,
Engkau pancarkan kalimat Tauhid menggetarkan jiwa.
Kini…….
Hanya tumpahan darah mengalir, bagaikan air di lautan,
Tiada kebebasan,
Semuanya dalam kekangan Israel yang kejam tak beradab,
Akankah semuanya berakhir?
Hanya Allah yang mengetahui segalanya.
Oleh : Reva Aghatta (kontributor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar