EPISTEMOLOGI NUSANTARA OLEH SAHABAT IBRAMSYAH KADER PMII PURWOREJO - Klik Media 9

Breaking

Sabtu, 14 Januari 2023

EPISTEMOLOGI NUSANTARA OLEH SAHABAT IBRAMSYAH KADER PMII PURWOREJO

*Peta Nusantara


Jika kita mendengar istilah epistemologi, kemungkinan besar pikiran kita akan mengarah atau bertendensi pada salah satu cabang keilmuan, yaitu filsafat. Memang benar saja bahwa epistemologi merupakan salah satu sub bagian yang dikaji dalam filsafat, yang mana epistemologi bersanding pula dengan pembahasan semacam ontologi dan aksiologi. Dalam dunia keilmuan filsafat kita perlu mengetahui terlebih dahulu secara sederhana tentang epistemologi itu sendiri, bahwa epistemologi merupakan hakikat dari segala sesuatu. Artinya bahwa ruang lingkup epistemologi merupakan hakikat atau kenyataan-kenyaatan dari segala sesuatu apapun. Kalau kita mau mengandaikan epistemologi dengan contoh yang mudah, yakni seperti halnya hakikat dari sebuah lautan. Hakikat dari lautan merupakan satuan dari kumpulan berbagai air dengan volume tertentu, yang bagian penampungnya (wilayahnya) pasti lebih rendah atau mengalami pencekungan apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya yang lebih tinggi. Contoh lain, seperti halnya pulau, merupakan satuan tanah dengan ukuran luas tertentu yang wilayah atau bagiannya lebih tinggi dibanding dengan lautan. Kira-kira sesederhana itulah pengandaian terhadap epistemologi.

Sekarang kita perlu mengupas lebih lanjut epistemologi pada bagian yang lain, yang cakupannya lebih besar dan lebih luas apabila dibandingkan hanya sekedar pulau maupun lautan. Suatu wilayah yang begitu kompleks yang disebut dengan Nusantara merupakan pembahasan menarik tersendiri dalam bab epistemologi. Mengingat sedikit banyak perbincangan Nusantara yang begitu rumit dan sulit diuraikan secara utuh. Jika kita berbicara ihwal epistemologi Nusantara maka kita pastinya mengawali bagaimana tentang kenyataan dari Nusantara itu sendiri yang tidak dapat kita lepaskan dari sejarah ataupun proses terbentuknya Nusantara. Awalnya Nusantara merupakan satu benua besar dunia yang disebut dengan Swetadwipa atau Lemuria. Disebabkan wilayahnya yang berada diantara tiga lempeng besar dunia, maka sangat sulit mencegah timbul dan terjadinya berbagai gejala tektonisme dalam rentangan waktu tertentu. Karena silih berganti munculnya gejala demi gejala tektonisme kemudian menjadikan Nusantara menjadi dua bagian yang kemudian disebut sebagai sunda besar dan sunda kecil, sampai kemudian menjadi bagianbagian yang lebih kecil lagi yang disebut dengan Nusantara. Kira-kira secara mendasar begitulah hakikat dari Nusantara.

Selain kita berbicara hakikat Nusantara pada bab wilayah terbentuknya, kemudian kita perlu mengkaji bagaimana nature (alam) dari Nusantara itu sendiri. Nusantara yang mana pada hakikatnya merupakan wilayah dengan banyaknya dataran tinggi, otomatis memiliki gunung maupun pegunungan yang tidak sedikit jumlahnya. Serta dengan banyaknya wilayah yang terendam sebab reruntuhan pasca gela tektonisme yang bertubi-tubi dan menimbulkan mencuat atau naiknya air ke permukaan daratan menjadikan banyaknya laut yang mengitari seluruh sisi pada wilayah Nusantara. Maka keduanya (baik laut maupun dataran tinggi) yang notabene merupakan wilayah subur dan produktif menjadi bagian pusat penghasil utama sumber daya alam bagi orang-orang Nusantara. Berkaca dari hal tersebut, tentunya secara antropologi bagaimana keadaan dan sejarah panjang kehidupan orang-orang Nusantara dapat dilihat pula berdasarkan pola sosial mereka dengan alamnya.

Dalam Kitab Muqoddimah Ibnu Khaldun, kita dapat memahami bahwa peradaban suaqtu bangsa selalui dipengaruhi oleh setiap keadaan alamnya. Dan yang jelas bahwa setiap wilayah suatu bangsa yang memiliki keberlimpahan alam maka akan sangat kecil sekali kemungkinan terjadinya perang. Adapun dengan segala bentuk kepemerintahan dan ketatanegaraannya yang berlangsung di dalam suatu bangsa, peperangan tidak akan terjadi sebab perebutan sumber daya alam. Seperti halnya di Nusantara, sebelum imperialis dan kolonialis dari barat datang, tidak ada peperangan yang diceritakan sebagai sebuah sejarah yang terjadi di Nusantara. Adapun di era kerajaan kuno, peperangan yang terjadi tidak disebabkan sebab kebutuhan akan sumber daya alam, karena jelas dengan keberlimpahan alamnya, orang-orang Nusantara sudah sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Namun, apabila terjadi peperangan saat itu merupakan implikasi dari perebutan kekuasaan, pertikaian sebab gengsi kekuatan, ihwal perebutan perempuan dan tenaga kerja di kerajaan.

Dahulu, sebelum datangnya bangsa asing, ideologi, maupun sistem keyakinan lain ke Nusantara maka naturalistik atau kealamiahan dari orang-orang Nusantara sangat besar. Sehingga dapat dikatakan apabila berbicara bagaimana sistem kepercayaan yang dianut oleh orang Nusantara begitu kuat dan begitu mengakar ke dalam, sebab dekatnya mereka dengan sentuhan alam. Jika kita berani menggambarkan sedikit lebih dalam, bahwa anggapan adanya unsur tertinggi dalam kehidupan yang dianut oleh orang-orang Nusantara lahir sebab pandangan yang mendalam pula oleh orang-orang Nusantara, yang mana lahir sebab keberlimpahan alam yang menunjukan satu bukti adanya unsur yang mewujudkan semua keagungan unsur tertinggi tersebut, yang mengejawantah pada semesta raya. Karena kedekatan mereka (dalam hal ini orang-orang Nusantara) dengan alam, maka dekat pula hubungan mereka dengan unsur tertinggi yang mereka percayai tersebut, dalam hal ini diistilahkan dengan Tuhan.

Begitupula dengan struktur pengetahuan yang terbentuk pada orang-orang Nusantara, yakni struktur pengetahuan yang berasal dari naturalistik (kealamiahan). Struktur pengetahuan tersebut mengantarkan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sepeti sandang, pangan, dan papan mereka selalu kembali pada penyediaan bahan yang terdapat di alam Nusantara, dangan cara mencari, pengolahan, dan penyediaan yang semuanya tersebut selalu masih alami. Sangat memungkinkan pemandangan seperti itu dianggap kuno dan sangat konservan, tapi jangan salah, dengan struktur pengetahuan seperti demikian orang-orang Nusantara dahulu dituntut untuk belajar dari bahasa alam yang tinggi dan hal tersebut menunjukan kemampuan yang tinggi pula pada masyarakat Nusantara ihwal bahasa komunikasi dengan alamnya. Selain itu, karena struktur pengetahuan yang terbangun sangat naturalistik, kesehatan hidup orang-orang Nusantara juga sangatlah tinggi. Logikannya, karena mereka mengkonsumsi sesuatu yang alami dan mereka (orang-orang Nusantara) merupakan bagian dari alam, maka mereka sekali lagi begitu menyatu sebagai bentuk entitas alam yang saling terkoneksi, artinya mereka tidak melepaskan kedudukan mereka sebagai sesama bagian dari unsur tertinggi yang terejawantah sebagai alam di jagat semesta raya.

Pertautan yang tinggi antara orang-orang Nusantara dengan alamnya menjadikan munculnya berbagai cara yang unik pula dalam proses bertahan hidup mereka. Karena penempaan alam yang begitu luar biasanya, mereka merasa sudah menjadi manusia-manusia yang kuat dengan alam dan peradabannya, sehingga dalam hal ini orang-orang Nusantara tidak mau tunduk dihadapan Bangsa lain. Hal tersebut pula yang menjadikan saat bangsa asing datang ke Nusantara menjadikan orang-orang Nusantara baru mulai terdengung perlawan demi perlawanan, sebab orang-orang Nusantara saat itu sadar betul bahwa mereka merupakan bangsa yang kuat. Selain itu hal menarik lainnya, sebab mereka sebegitu dekatnya dengan kealamiahannya, mereka begitu menikmati kehidupan dengan alamnya. Saat ada sesuatu baru yang masuk datang menjumpai mereka dalam bentuk apapun, sikap orang-orang Nusantara adalah tertakjub bukan karena merasa hal yang dilihat itu luar biasa, namun belum pernah disaksikannya hal tersebut. Potensi yang timbul, pertama adalah menerimanya dengan sebab dan alasan tertentu, atau melakukan tindakan reaksioner atas ketidaknyamanan mereka saat sesuatu yang baru tersebut datang dari luar menjumpai mereka. Maka sangatlah wajar, apabila ambiguitas yang sering terjadi pada orangorang Nusantara menjadikan bentukan masyarakat sampai hari ini mudah menerima, sekaligus mudah bertindak secara reaksioner. Hal tersebut dapat kita sebut sebagai warisan psikologis orang-orang Nusantara terdahulu.


Oleh : M. Ibram Syah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar