Jika
kita mendengar istilah epistemologi, kemungkinan besar pikiran kita akan
mengarah atau bertendensi pada salah satu cabang keilmuan, yaitu filsafat.
Memang benar saja bahwa epistemologi merupakan salah satu sub bagian yang dikaji
dalam filsafat, yang mana epistemologi bersanding pula dengan pembahasan
semacam ontologi dan aksiologi. Dalam dunia keilmuan filsafat kita perlu
mengetahui terlebih dahulu secara sederhana tentang epistemologi itu sendiri,
bahwa epistemologi merupakan hakikat dari segala sesuatu. Artinya bahwa ruang
lingkup epistemologi merupakan hakikat atau kenyataan-kenyaatan dari segala
sesuatu apapun. Kalau kita mau mengandaikan epistemologi dengan contoh yang
mudah, yakni seperti halnya hakikat dari sebuah lautan. Hakikat dari lautan
merupakan satuan dari kumpulan berbagai air dengan volume tertentu, yang bagian
penampungnya (wilayahnya) pasti lebih rendah atau mengalami pencekungan apabila
dibandingkan dengan wilayah lainnya yang lebih tinggi. Contoh lain, seperti halnya
pulau, merupakan satuan tanah dengan ukuran luas tertentu yang wilayah atau
bagiannya lebih tinggi dibanding dengan lautan. Kira-kira sesederhana itulah
pengandaian terhadap epistemologi.
Sekarang
kita perlu mengupas lebih lanjut epistemologi pada bagian yang lain, yang
cakupannya lebih besar dan lebih luas apabila dibandingkan hanya sekedar pulau
maupun lautan. Suatu wilayah yang begitu kompleks yang disebut dengan Nusantara
merupakan pembahasan menarik tersendiri dalam bab epistemologi. Mengingat sedikit
banyak perbincangan Nusantara yang begitu rumit dan sulit diuraikan secara
utuh. Jika kita berbicara ihwal epistemologi Nusantara maka kita pastinya
mengawali bagaimana tentang kenyataan dari Nusantara itu sendiri yang tidak
dapat kita lepaskan dari sejarah ataupun proses terbentuknya Nusantara. Awalnya
Nusantara merupakan satu benua besar dunia yang disebut dengan Swetadwipa atau
Lemuria. Disebabkan wilayahnya yang berada diantara tiga lempeng besar dunia,
maka sangat sulit mencegah timbul dan terjadinya berbagai gejala tektonisme
dalam rentangan waktu tertentu. Karena silih berganti munculnya gejala demi
gejala tektonisme kemudian menjadikan Nusantara menjadi dua bagian yang
kemudian disebut sebagai sunda besar dan sunda kecil, sampai kemudian menjadi
bagianbagian yang lebih kecil lagi yang disebut dengan Nusantara. Kira-kira
secara mendasar begitulah hakikat dari Nusantara.
Selain
kita berbicara hakikat Nusantara pada bab wilayah terbentuknya, kemudian kita
perlu mengkaji bagaimana nature (alam) dari Nusantara itu sendiri. Nusantara
yang mana pada hakikatnya merupakan wilayah dengan banyaknya dataran tinggi,
otomatis memiliki gunung maupun pegunungan yang tidak sedikit jumlahnya. Serta
dengan banyaknya wilayah yang terendam sebab reruntuhan pasca gela tektonisme
yang bertubi-tubi dan menimbulkan mencuat atau naiknya air ke permukaan daratan
menjadikan banyaknya laut yang mengitari seluruh sisi pada wilayah Nusantara.
Maka keduanya (baik laut maupun dataran tinggi) yang notabene merupakan wilayah
subur dan produktif menjadi bagian pusat penghasil utama sumber daya alam bagi
orang-orang Nusantara. Berkaca dari hal tersebut, tentunya secara antropologi
bagaimana keadaan dan sejarah panjang kehidupan orang-orang Nusantara dapat
dilihat pula berdasarkan pola sosial mereka dengan alamnya.
Dalam
Kitab Muqoddimah Ibnu Khaldun, kita dapat memahami bahwa peradaban suaqtu
bangsa selalui dipengaruhi oleh setiap keadaan alamnya. Dan yang jelas bahwa
setiap wilayah suatu bangsa yang memiliki keberlimpahan alam maka akan sangat
kecil sekali kemungkinan terjadinya perang. Adapun dengan segala bentuk
kepemerintahan dan ketatanegaraannya yang berlangsung di dalam suatu bangsa,
peperangan tidak akan terjadi sebab perebutan sumber daya alam. Seperti halnya
di Nusantara, sebelum imperialis dan kolonialis dari barat datang, tidak ada
peperangan yang diceritakan sebagai sebuah sejarah yang terjadi di Nusantara.
Adapun di era kerajaan kuno, peperangan yang terjadi tidak disebabkan sebab
kebutuhan akan sumber daya alam, karena jelas dengan keberlimpahan alamnya,
orang-orang Nusantara sudah sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing.
Namun, apabila terjadi peperangan saat itu merupakan implikasi dari perebutan
kekuasaan, pertikaian sebab gengsi kekuatan, ihwal perebutan perempuan dan
tenaga kerja di kerajaan.
Dahulu,
sebelum datangnya bangsa asing, ideologi, maupun sistem keyakinan lain ke
Nusantara maka naturalistik atau kealamiahan dari orang-orang Nusantara sangat
besar. Sehingga dapat dikatakan apabila berbicara bagaimana sistem kepercayaan
yang dianut oleh orang Nusantara begitu kuat dan begitu mengakar ke dalam,
sebab dekatnya mereka dengan sentuhan alam. Jika kita berani menggambarkan
sedikit lebih dalam, bahwa anggapan adanya unsur tertinggi dalam kehidupan yang
dianut oleh orang-orang Nusantara lahir sebab pandangan yang mendalam pula oleh
orang-orang Nusantara, yang mana lahir sebab keberlimpahan alam yang menunjukan
satu bukti adanya unsur yang mewujudkan semua keagungan unsur tertinggi
tersebut, yang mengejawantah pada semesta raya. Karena kedekatan mereka (dalam
hal ini orang-orang Nusantara) dengan alam, maka dekat pula hubungan mereka
dengan unsur tertinggi yang mereka percayai tersebut, dalam hal ini
diistilahkan dengan Tuhan.
Begitupula
dengan struktur pengetahuan yang terbentuk pada orang-orang Nusantara, yakni
struktur pengetahuan yang berasal dari naturalistik (kealamiahan). Struktur
pengetahuan tersebut mengantarkan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sepeti
sandang, pangan, dan papan mereka selalu kembali pada penyediaan bahan yang
terdapat di alam Nusantara, dangan cara mencari, pengolahan, dan penyediaan
yang semuanya tersebut selalu masih alami. Sangat memungkinkan pemandangan
seperti itu dianggap kuno dan sangat konservan, tapi jangan salah, dengan struktur
pengetahuan seperti demikian orang-orang Nusantara dahulu dituntut untuk
belajar dari bahasa alam yang tinggi dan hal tersebut menunjukan kemampuan yang
tinggi pula pada masyarakat Nusantara ihwal bahasa komunikasi dengan alamnya.
Selain itu, karena struktur pengetahuan yang terbangun sangat naturalistik,
kesehatan hidup orang-orang Nusantara juga sangatlah tinggi. Logikannya, karena
mereka mengkonsumsi sesuatu yang alami dan mereka (orang-orang Nusantara)
merupakan bagian dari alam, maka mereka sekali lagi begitu menyatu sebagai
bentuk entitas alam yang saling terkoneksi, artinya mereka tidak melepaskan
kedudukan mereka sebagai sesama bagian dari unsur tertinggi yang terejawantah
sebagai alam di jagat semesta raya.
Pertautan
yang tinggi antara orang-orang Nusantara dengan alamnya menjadikan munculnya
berbagai cara yang unik pula dalam proses bertahan hidup mereka. Karena
penempaan alam yang begitu luar biasanya, mereka merasa sudah menjadi
manusia-manusia yang kuat dengan alam dan peradabannya, sehingga dalam hal ini
orang-orang Nusantara tidak mau tunduk dihadapan Bangsa lain. Hal tersebut pula
yang menjadikan saat bangsa asing datang ke Nusantara menjadikan orang-orang
Nusantara baru mulai terdengung perlawan demi perlawanan, sebab orang-orang
Nusantara saat itu sadar betul bahwa mereka merupakan bangsa yang kuat. Selain
itu hal menarik lainnya, sebab mereka sebegitu dekatnya dengan kealamiahannya,
mereka begitu menikmati kehidupan dengan alamnya. Saat ada sesuatu baru yang
masuk datang menjumpai mereka dalam bentuk apapun, sikap orang-orang Nusantara
adalah tertakjub bukan karena merasa hal yang dilihat itu luar biasa, namun
belum pernah disaksikannya hal tersebut. Potensi yang timbul, pertama adalah
menerimanya dengan sebab dan alasan tertentu, atau melakukan tindakan
reaksioner atas ketidaknyamanan mereka saat sesuatu yang baru tersebut datang
dari luar menjumpai mereka. Maka sangatlah wajar, apabila ambiguitas yang
sering terjadi pada orangorang Nusantara menjadikan bentukan masyarakat sampai
hari ini mudah menerima, sekaligus mudah bertindak secara reaksioner. Hal
tersebut dapat kita sebut sebagai warisan psikologis orang-orang Nusantara
terdahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar